MENGENAL IMAM BUKHARI RAHIMAHULLAH
Nama dan Nasabnya
Beliau
bernama Muhammad, putra dari Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Bardizbah Al-Ju’fi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Abdillah. Beliau
dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at 13 Syawwal 194 H di
Bukhara (Bukarest). Ketika masih kecil, ayahnya yaitu Isma’il sudah
meninggal sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu. Ghinjar dan Al-Lalika’i
menceritakan bahwa ketika kecil kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika
ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai ibu,
sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya
doa yang kamu panjatkan kepada-Nya.” Pagi harinya dia dapati
penglihatan anaknya telah sembuh (lihat Hadyu Sari, hal. 640)
Sanjungan Para Ulama Kepadanya
Abu
Mush’ab rahimahullah (di dalam cetakan tertulis Abu Mu’shab, sepertinya
ini salah tulis karena dalam kalimat sesudahya ditulis Abu Mush’ab,
pent) Ahmad bin Abi Bakr Az Zuhri mengatakan, “Muhammad bin Isma’il
(Bukhari) lebih fakih dan lebih mengerti hadits dalam pandangan kami
daripada Imam Ahmad bin Hambal.” Salah seorang teman duduknya berkata
kepadanya, “Kamu terlalu berlebihan.” Kemudian Abu Mush’ab justru
mengatakan, “Seandainya aku bertemu dengan Malik (lebih senior daripada
Imam Ahmad, pent) dan aku pandang wajahnya dengan wajah Muhammad bin
Isma’il niscaya aku akan mengatakan: Kedua orang ini sama dalam hal
hadits dan fiqih.” (Hadyu Sari, hal. 646)
Qutaibah bin Sa’id
rahimahullah mengatakan, “Aku telah duduk bersama para ahli fikih, ahli
zuhud, dan ahli ibadah. Aku belum pernah melihat semenjak aku bisa
berpikir ada seorang manusia yang seperti Muhammad bin Isma’il. Dia di
masanya seperti halnya Umar di kalangan para sahabat.” (Hadyu Sari, hal.
646)
Muhammad bin Yusuf Al Hamdani rahimahullah menceritakan:
Suatu saat Qutaibah ditanya tentang kasus “perceraian dalam keadaan
mabuk”, lalu masuklah Muhammad bin Isma’il ke ruangan tersebut. Seketika
itu pula Qutaibah mengatakan kepada si penanya, “Inilah Ahmad bin
Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan Ali bin Madini yang telah dihadirkan
oleh Allah untuk menjawab pertanyaanmu.” Seraya mengisyaratkan kepada
Bukhari (Hadyu Sari, hal. 646)
Ahmad bin Hambal rahimahullah
mengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah melahirkan orang yang seperti
Muhammad bin Isma’il.” (Hadyu Sari, hal. 647)
Bundar Muhammad bin
Basyar rahimahullah mengatakan tentang Bukhari, “Dia adalah makhluk
Allah yang paling fakih di zaman kami.” (Hadyu Sari, hal. 647)
Hasyid
bin Isma’il rahimahullah menceritakan: Ketika aku berada di Bashrah aku
mendengar kedatangan Muhammad bin Isma’il. Ketika dia datang, Muhammad
bin Basyar pun mengatakan, “Hari ini telah datang seorang pemimpin para
fuqoha’.” (Hadyu Sari, hal. 647)
Muslim bin Hajjaj rahimahullah penulis Shahih Muslim, murid Imam Bukhari
mengatakan, “Aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang
seperti dirimu (yaitu seperti Bukhari).” (Hadyu Sari, hal. 650)
Kekuatan Hafalan Imam Bukhari dan Kecerdasannya
Muhammad
bin Abi Hatim Warraq Al Bukhari menceritakan: Aku mendengar Bukhari
mengatakan, “Aku mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika aku
masih berada di sekolah baca tulis (kuttab).” Aku berkata kepadanya,
“Berapakah umurmu ketika itu?” Dia menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang
dari itu. Kemudian setelah lulus dari Kuttab, aku pun bolak-balik
menghadiri majelis haditsnya Ad-Dakhili dan ulama hadits lainnya. Suatu
hari tatkala membacakan hadits di hadapan orang-orang dia (Ad-Dakhili)
mengatakan, ‘Sufyan meriwayatkan dari Abu Zubair dari Ibrahim.’ Maka aku
katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari
Ibrahim.’ Maka dia pun menghardikku, lalu aku berkata kepadanya,
‘Rujuklah kepada sumber aslinya, jika kamu punya.’ Kemudian dia pun
masuk dan melihat kitabnya lantas kembali dan berkata, ‘Bagaimana kamu
bisa tahu wahai anak muda?’ Aku menjawab, ‘Dia adalah Az Zubair (bukan
Abu Zubair, pen). Nama aslinya Ibnu Adi yang meriwayatkan hadits dari
Ibrahim.’ Kemudian dia pun mengambil pena dan membenarkan catatannya.
Dan dia pun berkata kepadaku, ‘Kamu benar’. Menanggapi cerita tersebut,
Bukhari ini Warraq berkata, “Biasa, itulah sifat manusia. Ketika
membantahnya umurmu berapa?” Bukhari menjawab, “Sebelas tahun.” (Hadyu
Sari, hal. 640)
Hasyid bin Isma’il menceritakan: Dahulu Bukhari
biasa ikut bersama kami bolak-balik menghadiri pelajaran para masayikh
(para ulama) di Bashrah, pada saat itu dia masih kecil. Dia tidak pernah
mencatat, sampai-sampai berlalu beberapa hari lamanya. Setelah 6 hari
berlalu kami pun mencela kelakuannya. Menanggapi hal itu dia mengatakan,
“Kalian merasa memiliki lebih banyak hadits daripada aku. Cobalah
kalian tunjukkan kepadaku hadits-hadits yang telah kalian tulis.” Maka
kami pun mengeluarkan catatan-catatan hadits tersebut. Lalu ternyata dia
menambahkan hadits yang lain lagi sebanyak lima belas ribu hadits. Dia
membacakan hadits-hadits itu semua dengan ingatan (di luar kepala),
sampai-sampai kami pun akhirnya harus membetulkan catatan-catatan kami
yang salah dengan berpedoman kepada hafalannya (Hadyu Sari, hal. 641)
Muhammad
bin Al Azhar As Sijistani rahimahullah menceritakan: Dahulu aku ikut
hadir dalam majelis Sulaiman bin Harb sedangkan Bukhari juga ikut
bersama kami. Dia hanya mendengarkan dan tidak mencatat. Ada orang yang
bertanya kepada sebagian orang yang hadir ketika itu, “Mengapa dia tidak
mencatat?” Maka orang itu pun menjawab, “Dia akan kembali ke Bukhara
dan menulisnya berdasarkan hafalannya.” (Hadyu Sari, hal. 641)
Suatu
ketika Bukhari rahimahullah datang ke Baghdad. Para ulama hadits yang
ada di sana mendengar kedatangannya dan ingin menguji kekuatan
hafalannya. Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadits yang telah
dibolak-balikkan isi hadits dan sanadnya, matan yang satu ditukar dengan
matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain.
Kemudian seratus hadits ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing
bertugas menanyakan 10 hadits yang berbeda kepada Bukhari. Setiap kali
salah seorang di antara mereka menanyakan kepadanya tentang hadits yang
mereka bawakan, maka Bukhari menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku
tidak mengetahuinya.” Setelah sepuluh orang ini selesai, maka gantian
Bukhari yang berkata kepada 10 orang tersebut satu persatu, “Adapun
hadits yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun hadits yang benar
adalah demikian.” Hal itu beliau lakukan kepada sepuluh orang tersebut.
Semua sanad dan matan hadits beliau kembalikan kepada tempatnya
masing-masing dan beliau mampu mengulangi hadits yang telah
dibolak-balikkan itu hanya dengan sekali dengar. Sehingga para ulama pun
mengakui kehebatan hafalan Bukhari dan tingginya kedudukan beliau
(lihat Hadyu Sari, hal. 652)
Muhammad bin Hamdawaih rahimahullah
menceritakan: Aku pernah mendengar Bukhari mengatakan, “Aku hafal
seratus ribu hadits sahih.” (Hadyu Sari, hal. 654). Bukhari rahimahullah
mengatakan, “Aku menyusun kitab Al-Jami’ (Shahih Bukhari, pent) ini
dari enam ratus ribu hadits yang telah aku dapatkan dalam waktu enam
belas tahun dan aku akan menjadikannya sebagai hujjah antara diriku
dengan Allah.” (Hadyu Sari, hal. 656)
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah menuturkan bahwa apabila Bukhari membaca Al-Qur’an maka
hati, pandangan, dan pendengarannya sibuk menikmati bacaannya, dia
memikirkan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalamnya, dan
mengetahui hukum halal dan haramnya (lihat Hadyu Sari, hal. 650)
Semoga
Allah subhanahu wa ta’ala membalas jasa-jasa beliau dengan sebaik-baik
balasan dan memasukkannya ke dalam Surga Firdaus yang tinggi. Dan semoga
Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dapat melanjutkan
perjuangannya dalam membela Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menyebarkannya kepada umat manusia. Wa shallallahu ‘ala
Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
·